Rokok adalah produk yang berbahaya dan aditif kadena di dalamnya terdapat
4000 bahan kimia berbahaya yang 69 diantaranya merupakan zat karsinogenik
(dapat menyebabkan kanker). Mengkonsumsi rokok memberikan memicu efek negatif
bagi kesehatan, diantaranya pemicu penyakit jantung, berbagai jenis kanker, stroke,
kemandulan, keguguran, dan masih banyak lagi.
Sebenarnya para perokok telah mengetahui bahaya rokok dan
dampak negatifnya terhadap dirinya. Pakar ekonomi dari Havard University, W.
Kip Viscusi, belum lama ini bertanya kepada sekelompok perokok untuk
menduga-duga tentang berapa tahun hidup mereka akan berkurang setelah merokok
sejak usia duapuluh satu tahun. Tebakan mereka adalah sembilan tahun. Jawaban
secara ilmiah adalah enam sampai tujuh tahun. Perokok bukan menjadi perokok
karena mereka meremehkan resiko merokok. Mereka bahkan tetap mekokok meskipun
taksiran mereka tentang bahaya merokok lebih dari takaran.
Lantas apa yang membuat perokok tetap bisa loyal untuk
mengkonsumsi rokoknya? Untuk orang yang sudah menjadi perokok berat, mereka
membutuhkan asupan nikotin tembakau zat untuk menyegarkan otak mereka. Sebagai
contoh, berbagai permasalahan kompleks dalam kehidupan terkadang membuat
seseorang menjadi depresi. Depresi diyakini disebabkan oleh masalah dalam
produksi bahan kimia penting tertentu dalam otak, khususnya neurotransmitter
yang dikenal sebagai serotonin, dopamin, dan neropineprin. Semua tadi merupakan
bahan-bahan kimia yang mengatur mood,
yang ikut berpengaruh terhadap rasa percaya diri, kemampuan penanggulangan
masalah, dan kemampuan merasakan kenikmatan. Nikotin mampu menjalankan peran
yang tepat sama dengan dua neurotransmitter penting lain-domapin dan
norepinefrin. Pendek kata, perokok yang menderita depresi pada dasarnya
menggunakan tembakau sebagai cara murah untuk mengatasi depresi mereka sendiri,
yakni untuk menaikkan kadar bahan kimia otak yang diperlukan agar berfungsi
secara normal.
Efek ini cukup kuat sehingga ketika perokok dengan
riwayat menderita gangguan jiwa mencoba berhenti merokok, mereka beresiko jatuh
kembali ke jurang depresi. Inilah kelekatan yang disertai balas dendam: bagi
sebagian perokok, selain sulit berhenti akibat ketergantungan pada nikotin,
upaya tersebut juga beresiko karena tanpa nikotin mereka dapat terperosok
kembali ke kondisi gangguan jiwa yang bisa membuat tidak berdaya.
Bagi sebagian remaja calon perokok potensial, merokok
dianggap sebagai sesuatu yang terlihat cool.
Malcom Gladwel pernah meyebar beberapa
ratus daftar pertanyaan kepada beberapa ratus orang, meminta mereka bercerita
seputar pengalaman pertama mereka berkenalan dengan rokok. Kesimpulan
kuisioner, perokok memiliki sifat ekstrovet berupa suka menentang, matang
secara seksual, jujur, implusif, tak acuh terhadap pandangan orang lain, gemar
sensasi. Itu semua merupakan sifat-sifat hampir sempurna pada tipe orang dewasa
yang menjadi dambaan kebanyakan remaja. Secara tidak langsung remaja tertarik ke
pengungkapan sifat-sifat tersebut dalam wujud merokok. Sebenarnya disini yang
perlu digarisbawahi bahwa merokok itu tidak cool,
tidak pernah menjadikan orang hebat. Yang cool
adalah para perokoknya sehingga mereka menjadi anutan remaja sehingga merokok
menjadi sebuah epidemi secara ketok tular.
Temuan-temuan di atas kelihatannya sederhana, padahal ini
mendasar sekali guna memahami mengapa perang terhadap kebiasaan merokok selama
ini berujung dengan kekalahan telak. Gerakan anti-rokok telah menghabikan dana jutaan
rupiah untuk memerangi kebiasaan merokok, namun tidak ada hasil yang
signifikan. Perlu strategi “out of the
box” sehingga gerakan anti-rokok akan lebih mengena dan tepat sasaran.
Doel,
Buitenzorg, 18-12-2011 (14.44)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar