Sabtu, 17 Desember 2011

Kampanye Anti Rokok yang Kurang Efektif (2) lanjutan


Rokok adalah produk yang berbahaya dan aditif kadena di dalamnya terdapat 4000 bahan kimia berbahaya yang 69 diantaranya merupakan zat karsinogenik (dapat menyebabkan kanker). Mengkonsumsi rokok memberikan memicu efek negatif bagi kesehatan, diantaranya pemicu penyakit jantung, berbagai jenis kanker, stroke, kemandulan, keguguran, dan masih banyak lagi.

Sebenarnya para perokok telah mengetahui bahaya rokok dan dampak negatifnya terhadap dirinya. Pakar ekonomi dari Havard University, W. Kip Viscusi, belum lama ini bertanya kepada sekelompok perokok untuk menduga-duga tentang berapa tahun hidup mereka akan berkurang setelah merokok sejak usia duapuluh satu tahun. Tebakan mereka adalah sembilan tahun. Jawaban secara ilmiah adalah enam sampai tujuh tahun. Perokok bukan menjadi perokok karena mereka meremehkan resiko merokok. Mereka bahkan tetap mekokok meskipun taksiran mereka tentang bahaya merokok lebih dari takaran.

Lantas apa yang membuat perokok tetap bisa loyal untuk mengkonsumsi rokoknya? Untuk orang yang sudah menjadi perokok berat, mereka membutuhkan asupan nikotin tembakau zat untuk menyegarkan otak mereka. Sebagai contoh, berbagai permasalahan kompleks dalam kehidupan terkadang membuat seseorang menjadi depresi. Depresi diyakini disebabkan oleh masalah dalam produksi bahan kimia penting tertentu dalam otak, khususnya neurotransmitter yang dikenal sebagai serotonin, dopamin, dan neropineprin. Semua tadi merupakan bahan-bahan kimia yang mengatur mood, yang ikut berpengaruh terhadap rasa percaya diri, kemampuan penanggulangan masalah, dan kemampuan merasakan kenikmatan. Nikotin mampu menjalankan peran yang tepat sama dengan dua neurotransmitter penting lain-domapin dan norepinefrin. Pendek kata, perokok yang menderita depresi pada dasarnya menggunakan tembakau sebagai cara murah untuk mengatasi depresi mereka sendiri, yakni untuk menaikkan kadar bahan kimia otak yang diperlukan agar berfungsi secara normal.

Efek ini cukup kuat sehingga ketika perokok dengan riwayat menderita gangguan jiwa mencoba berhenti merokok, mereka beresiko jatuh kembali ke jurang depresi. Inilah kelekatan yang disertai balas dendam: bagi sebagian perokok, selain sulit berhenti akibat ketergantungan pada nikotin, upaya tersebut juga beresiko karena tanpa nikotin mereka dapat terperosok kembali ke kondisi gangguan jiwa yang bisa membuat tidak berdaya.

Bagi sebagian remaja calon perokok potensial, merokok dianggap sebagai sesuatu yang terlihat cool.  Malcom Gladwel pernah meyebar beberapa ratus daftar pertanyaan kepada beberapa ratus orang, meminta mereka bercerita seputar pengalaman pertama mereka berkenalan dengan rokok. Kesimpulan kuisioner, perokok memiliki sifat ekstrovet berupa suka menentang, matang secara seksual, jujur, implusif, tak acuh terhadap pandangan orang lain, gemar sensasi. Itu semua merupakan sifat-sifat hampir sempurna pada tipe orang dewasa yang menjadi dambaan kebanyakan remaja. Secara tidak langsung remaja tertarik ke pengungkapan sifat-sifat tersebut dalam wujud merokok. Sebenarnya disini yang perlu digarisbawahi bahwa merokok itu tidak cool, tidak pernah menjadikan orang hebat. Yang cool adalah para perokoknya sehingga mereka menjadi anutan remaja sehingga merokok menjadi sebuah epidemi secara ketok tular.

Temuan-temuan di atas kelihatannya sederhana, padahal ini mendasar sekali guna memahami mengapa perang terhadap kebiasaan merokok selama ini berujung dengan kekalahan telak. Gerakan anti-rokok telah menghabikan dana jutaan rupiah untuk memerangi kebiasaan merokok, namun tidak ada hasil yang signifikan. Perlu strategi “out of the box” sehingga gerakan anti-rokok akan lebih mengena dan tepat sasaran.

Doel,
Buitenzorg, 18-12-2011 (14.44)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar