Jumat, 16 Desember 2011

Kampanye Anti Rokok yang Kurang Efektif (1)


Baru-baru ini majalah Forbes telah merilis daftar orang-orang terkaya di Indonesia tahun 2011. Tidak ada perubahan untuk peringkat 3 besar bila dibandingkan dengan tahun lalu, kakak beradik Budi & Michael Hartono masih bertengger di peringkat taratas dalam daftar 10 orang terkaya di Tanah Air. Konglomerat Grup Djarum itu memiliki kekayaan US$14 miliar (sekitar Rp127,4 triliun). Tahun lalu, Forbes juga menempatkan Budi & Michael Hartono di peringkat pertama dengan kekayaan US$11 miliar. Berarti ada peningkatan kekayaan sebesar US$3 miliar (sekitar Rp27,3 triliun).

Susilo Wonowidjojo tetap bertengger di peringkat ke-2 dengan nilai kekayaan US$10,5 miliar (sekitar Rp95,5 triliun). Nilai kekayaan bos pabrik rokok Gudang Garam itu meningkat US$1,5 miliar jika dibandingkan dengan peringkat Forbes 2010. Sementara itu di tempat ketiga, Bos Sinar Mas Eka Tjipta Widjaja mendulang kekayaan US$8 miliar (Rp72,8 triliun) atau meningkat US$2 miliar jika dibandingkan dengan peringkat 2010.

Tidak terlalu mengherankan apabila orang terkaya di Indonesia ditempati oleh konglomerat perusahaan rokok. Data pada tahun 2002 menyebutkan konsumsi rokok Indonesia sebesar 182 miliar batang, jumlah yang sangat fantastik bukan? Jumlah itu senantiasa bertambah karena pasar rokok di Indonesia bergerak tumbuh ke tren positif ke depannya. Lalu akan timbul pertanyaan, apakah ada pihak yang kontra terhadap trend seperti ini? Bagaimanakah upaya untuk menekan perkembangan ini?

Merokok di kalangan remaja merupakan salah satu fenomena gaya hidup modern yang paling membuat orang pusing tujuh keliling. Tak seorang pun tahu cara memeranginya, atau bahkan memahami ujung pangkalnya. Asumsi utama yang dipegang oleh gerakan anti-merokok adalah bahwa pengusaha rokok telah membujuk kaum remaja dengan membohongi mereka, dengan menggambarkan bahwa merokok sangat nikmat dan jauh tidak berbahaya dibanding yang sesungguhnya.

Guna mengatasi permasalahan itu, berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan konsumsi rokok di Indonesia, mulai dari pembatasan jam tayang iklan rokok, pemberian label “Merokok Dapat Menyebabkan Kanker, Serangan Jantung, Impotensi, dan Gangguan Kehamilan dan Janin” pada setiap bungkus rokok yang beredar di pasaran, kampanye-kampanye kesehatan masyarakat yang ekstensif melalui berbagai media, ada juga fatwa haram MUI tentang rokok yang sempat menjadi kontroversi.

Namun, makin lama makin jelas bahwa pendekatan ini tidak begitu efektif. Sebagai contoh, mengapa kita berfikir bahwa kunci dalam memerangi kebiasaan merokok adalah menyadarkan orang tentang bahaya rokok? Sementara itu, kita tidak tahu seberapa efektif upaya orang dewasa memberitahu remaja agar mereka tidak merokok. Sebagaimana kata hampir tiap orangtua anak belasan tahun bahwa semakin sering mereka melarang dan berceramah tentang bahaya merokok, justru semakin besar hasrat mereka untuk mencoba. Memang betul, data terbaru dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan jika Indonesia menempati juara ketiga dunia dalam hal merokok. Posisi Indonesia masih teratas karena dipicu pertumbuhan perokok baru di kalangan generasi muda Indonesia yang tercepat di dunia.

Fakta di atas tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa upaya memerangi rokok sebaiknya dihentikan saja. Yang ingin saya tonjolkan adalah bahwa pola pikir kita selama ini tentang penyebab kebiasaan merokok sudah waktunya ditinjau kembali. Apabila ini sebuah endemi sosial, sudah saatnya upaya anti-merokok dilakukan dengan pendekatan baru agar berjalan lebih efektif.

Doel
Buitenzorg, 17-12-2012 (10.25)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar