Kamis, 22 Desember 2011

MEMBANGUN PERIKANAN BERKELANJUTAN*

Meskipun merupakan negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia, Indonesia baru memiliki Kementrian Kelautan dan Perikanan pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.


Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) menangani perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi perikanan, pembangunan pulau-pulau kecil, produksi garam, pemanfaatan benda-benda berharga dari kapal tenggelam, serta pengembangan sumber daya alam non konvensional di wilayah pesisir dan samudra.

Sejak kelahiran KKP tampak sejumlah kemajuan. Produksi perikanan yang pdata tahun 1999 baru 3,5 juta ton (peringkat ketujuh dunia) tahun 2010 mencapai 10,5 juta ton dan Indonesia menjadi produsen perikanan terbesar ketiga setelah China (55 juta ton) dan India (14 juta ton).

Pada tahun 2010 sumbangan protein ikan dalam total asupan protein hewani rakyat Indonesia baru 50 persen, sekarang 62 persen. Nilai ekspor perikanan juga meningkat dari 1,5 miliar dollar AS (1999) menjadi 3 miliar dollar AS (2010). Demikian pula dengan kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap produk domestik bruto, kin mencapai 3,2 persen dari 1,9 persen pada 1999.

Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai. Sampai sekarang mayoritas nelayan, terutama nelayan buruh, masih hidup dalam kubangan kemiskinan. Ironisnya, stok ikan di beberapa wilayah perairan laut seperti Selat Malaka, Laut Jawa, pesisir selatan Sulawesi, Selat Bali dan Arafura telah mengalami tangkap jenuh (fully-exploited) atau kelebihan tangkap (overfishing).

Ekosistem pesisir seperti estuari, mangrove, terumbu karang, dan padang lamun banyak yang rusak, baik akibat eksploitasi, konversi (reklamasi), maupun pencemaran. Padahal, ekosistem pesisir adalah tempat pemijahan, asuhan, mencari makan, atau membesarkan diri hampir semua jenis ikan dan biota laut.

Yang memprihatinkan adalah gempuran impor ikan yang menggila dalam tiga tahun terakhir. Sebelumnya kita hanya mengimpor tepung ikan, salmon, dan beberapa produk perikanan yang tidak bisa diproduksi di Indonesia dan dengan nilai yang tidak signifikan (kurang dari 50 juta dollar AS) per tahun.

Sekarang komoditas yang diimpor termasuk yang ada di Indonesia seperti kembung, layang, teri, tongkol, dan malaogis dengan nilai lebih dari 200 juta dollar AS per tahun. Padahal potensi produksi perikanan Indonesia terbesar di dunia, 65 juta ton per tahun, dan baru dimanfaatkan 10,5 juta ton (16 persen).

Perbaiki pengelolaan

Untuk mewujudkan perikanan tangkap nasional berkelanjutan, harus dipastikan bahwa laju penangkapan sumber daya (stok) ikan tidak melebihi potensi produksi lestari (maximum suistainable yield/MSY). Total MSY sumber daya ikan laut Indonesia 6,5 juta ton per tahun. Tahun 2010 total produksi ikan laut 5,1 juta ton. Total MSY perairan tawar 0,9 juta ton per tahun dan baru dimanfaatkan 0,5 juta ton.

Persoalannya, distribusi nelayan dan kapal ikan tidak merata. Lebih dari 90 persen armada kapal ikan Indonesia terkonsentrasi di perairan pesisir dan laut dangkal seperti Selat Malaka, pantura, Selat Bali, dan pesisir selatan Sulawesi. Di situ pula sebagian besar telah mengalami kelebihan tangkap. Jika laju penangkapan ikan seperti sekarang berlanjut, tangkapan per kapal akan menurun, nelayan semakin miskin, dan sumber daya ikan pun punah seperti ikan terubuk di Selat Malaka dan ikan terbang di pesisir selatan Sulawesi.

Sebaliknya jumlah kapal ikan Indonesia yang beroperasi di laut lepas, laut dalam, dan laut wilayah perbatasan seperti Laut Natuna, Laut China Selatan, Laut Sulawesi, Laut Seram, Laut Banda, Laut Arafura, dan Samudra Hindia bisa dihitung dengan jari. Di sinilah kapal-kapal ikan asing merajalela dan merugikan negara minimal Rp 30 triliun per tahun.

Maka laju tangkap ikan di perairan yang telah kelebihan tangkap harus dikurangi dan secara bersamaan memperbanyak armada kapal ikan modern untuk beroperasi di wilayah perairan yang masih underfishing atau yang selama ini dijarah nelayan asing. Semua ini akan membantu pengembangan ekonomi daerah berbasis perikanan tangkap.

Kedua, setiap kapal ikan harus dilengkapi dengan sarana penyimpanan ikan yang berpendingin untuk mempertahankan kualitas ikan sampai di tempat pendaratan ikan. Nelayan harus dilatih dan diberi penyuluhan untuk mempraktikkan cara-cara penanganan ikan yang baik selama di kapal.

Nelayan di seluruh nusantara harus dijamin dapat mendaratkan ikan tangkapannya di tempat pendaratan ikan atau pelabuhan perikanan. Selain memenuhi standar sanitasi dan higienis, pelabuhan perikanan juga harus dilangkapi dengan pabrik es, gudang pendingin, pabrik pengolahan ikan, mobil pengangkut ikan berpendingin, koperasi penjual alat tangkap, BBM, beras, dan perbekalan melaut, serta pembeli ikan bonafide.

Ketiga, rehabilitasi ekosistem-ekosistem pesisir yang telah rusak serta mengendalikan pencemaran dan mengembangkan kawasan konservasi laut. Selain itu, pengayaan stok (stok enhancement) dan restocking dengan spesies-spesies yang cocok dapat dilakukan di wilayah perairan yang kelebihan tangkap.

Perikanan budidaya

Potensi ekonomi perikana yang jauh lebih besar sesungguhnya terdapat di perikanan budidaya (akuakultur). Namun, sampai saat ini pemanfaatan perikanan budidaya masih sangat rendah, hanya 4,88 juta ton pada tahun 2010 atau 8,5 persen dari total potensi produksi 57,6 juta ton per tahun. Padahal, permintaan terhadap beragam produk akuakultur untuk memenuhi kebutuhan pangan, obat, dan bahan baku industri terus meningkat.

Perairan laut Indonesia yang berpotensi untuk usaha budidaya laut (mariculture) 24 juta hektare dengan potensi produksi lestari 41,6 juta ton per tahun. Pada tahun 2010 baru diproduksi 3,4 juta ton atau 3,4 persen. Komoditas budidaya laut yang bisa dikembangkan antara lain kerapu, kakap putih, baronang, bawal bintang, teripang, abalone, kerang hijau, gonggong, kerang mutiara, dan berbagai spesies rumput laut.

Luas perairan payau yang cocok untuk budidaya tambak 1,25 juta ha. Dengan potensi produksi lestari sekitar 10 juta ton pada 2010, produksinya baru 1 juta ton atau 10 persen. Jenis komoditas yang dapat dibudidayakan di tambak antara lain udang, bandeng, kerapu lumpur, nila, kepiting soka, dan rumput laut Gracilaria spp.


Potensi produksi lestari perikanan budidaya air tawar (danau, waduk, sungai, kolam, saluran irigasi, dan sawah) 6 juta ton per tahun. Pada 2010 baru diproduksi sebesar 0,5 juta ton atau 8,3 persen. Beberapa komoditas unggulan yang bisa dibudidayakan di perairan tawar adalah ikan nila, patin, lele, emas, gurami, bawal air tawar, udang galah, dan lobster air tawar.

Raksasa tidur

Potensi perikanan budidaya yang luar biasa itu ibarat "raksasa tidur" yang bisa ditransfomasikan menjadi sumber kesejahteraan bangsa melalui penerapan perikanan budidaya di setiap unit usaha. Ini meliputi penggunaan bibit unggul, pakan berkualitas, pengendalian hama dan penyakit, manajemen kualitas air dan tanah, tata letak dan konstruksi perkolaman, serta keamanan hayati.

Dahsyatnya potensi perikanan budidaya dapat dilihat pada nilai ekonomi dari tiga komoditas saja: udang vaname, rumput laut Gracilaria spp dan Eucheuma spp. Jika mampu mengembangkan 100.000 ha tambak (9 persen potensi) untuk budidaya udang vaname, dalam setahun dapat diproduksi 2 juta ton udang vaname dengan nilai 10 miliar dollar AS. Pendapatan petambak bisa Rp 8 juta per ha per bulan dengan tenaga kerja 400.000 orang.

Dengan mengembangkan 200.000 ha tambak (18 persen potensi0 untuk Gracilaria, setiap tahun dapat dihasilkan 4 juta ton rumput laut kering setara dengan 2 miliar dollar AS, pendapatan petambak Rp 3 juta per ha per bulan, dan lapangan kerja tercipta 1 juta orang.

Jika 1 juta ha perairan laut (4 persen potensi) dikembangkan untuk budidaya Eucheuma spp, dalam setahun dapat diproduksi 20 juta rumput laut kering yang nilainya 20 miliar dollar AS. Pendapatan pembudidaya Rp 12 juta per ha per bulan dan tenaga kerja yang terserap 4 juta orang.

Jika diproses lebih lanjut, rumput laut bisa menghasilkan sekitar 500 produk hilir (end product), termasuk berbagai produk farmasi dan kosmetik, yang nilai ekonominya bisa berlipat ganda.

Sudah tentu resep tehnikal pembangunan perikanan di atas hanya bisa mujarab jika kebijakan politik-ekonomi, terutama fiskal-moneter, ekspor-impor, pendidikan, iptek, iklim investasi, dan otonomi daerah bersifat kondusif bagi tumbuh kembangnya sektor kelautan dan perikanan. Peringatan Hari Nusantara dapat menjadi momentum untuk mengubah paradigma pembangunan berbasis daratan menjadi berbasis kelautan.

*Rokhmin Dahuri (Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia)
Kompas, edisi Kamis 22 Desember 2011

Senin, 19 Desember 2011

KEISLAMAN INDONESIA*

Sebuah penelitian sosial bertema “How Islamic are Islamic Countries” menilai Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke -140.

Adalah Scheherazade S. Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University yang melakukan penelitian ini. Hasilnya dipublikasikan dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010). Pertanyaan dasarnya adalah seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan memengaruhi perilaku masyarakat Muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial?

Ajaran dasar Islam yang dijadikan indikator dimaksud diambil dari Al-Quran dan hadis, dikelompokkan menjadi lima aspek. Pertama, ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia. Kedua, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial. Ketiga, sistem perundang-undangan dan pemerintahan. Keempat, hak asasi manusia dan asasi politik. Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan Internasional dan masyarakat non-Muslim.
Setelah ditentukan indikatornya, lalu diproyeksikan untuk menimbang kualitas keberislaman 56 negara Muslim yang menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang rata-rata berada di urutan ke-139 dari sebanyak 208 negara yang disurvei.

Pengalaman UIN Jakarta
Kesimpulan penelitian di atas tak jauh berbeda dari pengalaman dan pengakuan beberapa ustaz dan kiai sepulang dari Jepang setelah kunjungan selama dua minggu di Negeri Sakura. Program ini sudah berlangsung enam tahun atas kerja sama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, dengan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta.

Para ustaz dan kiai itu difasilitasi untuk melihat dari dekat kehidupan sosial di sana dan bertemu sejumlah tokoh. Setiba di Tanah Air, hampir semua mengakui bahwa kehidupan sosial di Jepang lebih mencerminkan nilai-nilai Islam ketimbang yang mereka jumpai, baik di Indonesia maupun Timur Tengah. Masyarakat terbiasa antri, menjaga kebersihan, kejujuran, suka menolong, dan nilai-nilai Islam lain yang justru makin sulit ditemukan di Indonesia.

Pernyataan serupa pernah dikemukakan Muhammad Abduh, ulama besar Mesir, setelah berkunjung ke Eropa. “Saya lebih melihat Islam di Eropa, tetapi kalau orang Muslim banyak saya temukan di dunia Arab,” katanya.

Kalau saja yang menjadi indikator penelitian untuk menimbang keberislaman masyarakat itu ditekankan pada aspek ritual-individu, saya yakin Indonesia akan menduduki peringkat pertama menggeser Selandia Baru. Jumlah yang pergi haji setiap tahun meningkat, selama Ramadhan masjid penuh dan pengajian semarak di mana-mana. Tidak kurang dari 20 stasiun televisi di Indonesia setiap hari pasti menyiarkan dakwah agama. Terlebih lagi selama bulan Ramadhan, hotel pun diramaikan oleh tarawih bersama. Ditambah lagi yang namanya ormas dan parpol Islam yang terus bermunculan.

Namun, pertanyaan yang dimunculkan oleh Rehman dan Askari bukan semarak ritual, melainkan seberapa jauh ajaran Islam itu membentuk kesalehan sosial berdasarkan ajaran Al Quran dan hadis.

Contoh perilaku sosial di Indonesia yang sangat jauh dari ajaran Islam adalah maraknya korupsi, sistem ekonomi dengan bunga tinggi, kekayaan tak merata, persamaan hak bagi setiap warga negara untuk memperoleh pelayanan negara dan untuk berkembang, serta banyak aset sosial yang mubazir. Apa yang dikecam ajaran Islam itu ternyata lebih mudah ditemukan di masyarakat Muslim ketimbang negara-negara Barat. Kedua peneliti itu menyimpulkan: ...it is our belief that most self-declared and labeled Islamic countries are not conducting their affairs in accordance with Islamic techings—at least when it comes to economic, financial, political, legal, social and governance policies.

Dari 56 negara anggota OKI, yang memperoleh nilai tertinggi adalah Malaysia (urutan ke-38), Kuwait (48), Uni Emirat Arab (66), Maroko (119), Arab Saudi (131), Indonesia (140), Pakistan (147), Yaman (198), dan terburuk adalah Somalia (206). Negara Barat yang dinilai mendekati nilai-nilai Islam adalah Kanada di urutan ke-7, Inggris (8), Australia (9), dan Amerika Serikat (25).

Sekali lagi, penelitian ini tentu menyisakan banyak pertanyaan serius yang perlu juga dijawab melalui penelitian sebanding. Jika masyarakat atau negara Muslim korup dan represif, apakah kesalahan ini disebabkan oleh perilaku masyarakatnya ataukah pada sistem pemerintahannya? Atau akibat sistem dan kultur pendidikan Islam yang salah? Namun, satu hal yang pasti, penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku sosial, ekonomi, dan politik negara-negara anggota OKI justru berjarak lebih jauh dari ajaran Islam dibandingkan negara-negara non-Muslim yang perilakunya lebih Islami.

Semarak dakwah dan ritual
Hasil penelitian ini juga menyisakan pertanyaan besar dan mendasar: mengapa semarak dakwah dan ritual keagamaan di Indonesia tak mampu mengubah perilaku sosial dan birokrasi sebagaimana yang diajarkan Islam, yang justru dipraktikkan di negara-negara sekuler?

Tampaknya keberagaman kita lebih senang di level dan semarak ritual untuk mengejar kesalehan individual, tetapi menyepelekan kesalehan sosial. Kalau seorang Muslim sudah melaksanakan lima rukun Islam—syahadat, shalat, puasa, zakat, haji—dia sudah merasa sempurna. Semakin sering berhaji, semakin sempurna dan hebatlah keislamannya. Padahal, misi Rasulullah itu datang untuk membangun peradaban yang memiliki tiga pilar utama: keilmuan, ketakwaan, dan akhlak mulia atau integritas. Hal yang terakhir inilah, menurut penelitian Rehman dan Askari, dunia Islam mengalami krisis.

Sekali lagi, kita boleh setuju atau menolak hasil penelitian ini dengan cara melakukan penelitian tandingan. Jadi, jika ada pertanyaan: How Islamic are Islamic Political Parties?, menarik juga dilakukan penelitian dengan terlebih dahulu membuat indikator atau standar berdasarkan Al Quran dan hadis. Lalu, diproyeksikan juga untuk menakar keberislaman perilaku partai-partai yang mengusung simbol dan semangat agama dalam perilaku sosialnya.

*oleh Komaruddin Hidayat, Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
sumber KOMPAS, 5 November 2011

Sabtu, 17 Desember 2011

Kampanye Anti Rokok yang Kurang Efektif (2) lanjutan


Rokok adalah produk yang berbahaya dan aditif kadena di dalamnya terdapat 4000 bahan kimia berbahaya yang 69 diantaranya merupakan zat karsinogenik (dapat menyebabkan kanker). Mengkonsumsi rokok memberikan memicu efek negatif bagi kesehatan, diantaranya pemicu penyakit jantung, berbagai jenis kanker, stroke, kemandulan, keguguran, dan masih banyak lagi.

Sebenarnya para perokok telah mengetahui bahaya rokok dan dampak negatifnya terhadap dirinya. Pakar ekonomi dari Havard University, W. Kip Viscusi, belum lama ini bertanya kepada sekelompok perokok untuk menduga-duga tentang berapa tahun hidup mereka akan berkurang setelah merokok sejak usia duapuluh satu tahun. Tebakan mereka adalah sembilan tahun. Jawaban secara ilmiah adalah enam sampai tujuh tahun. Perokok bukan menjadi perokok karena mereka meremehkan resiko merokok. Mereka bahkan tetap mekokok meskipun taksiran mereka tentang bahaya merokok lebih dari takaran.

Lantas apa yang membuat perokok tetap bisa loyal untuk mengkonsumsi rokoknya? Untuk orang yang sudah menjadi perokok berat, mereka membutuhkan asupan nikotin tembakau zat untuk menyegarkan otak mereka. Sebagai contoh, berbagai permasalahan kompleks dalam kehidupan terkadang membuat seseorang menjadi depresi. Depresi diyakini disebabkan oleh masalah dalam produksi bahan kimia penting tertentu dalam otak, khususnya neurotransmitter yang dikenal sebagai serotonin, dopamin, dan neropineprin. Semua tadi merupakan bahan-bahan kimia yang mengatur mood, yang ikut berpengaruh terhadap rasa percaya diri, kemampuan penanggulangan masalah, dan kemampuan merasakan kenikmatan. Nikotin mampu menjalankan peran yang tepat sama dengan dua neurotransmitter penting lain-domapin dan norepinefrin. Pendek kata, perokok yang menderita depresi pada dasarnya menggunakan tembakau sebagai cara murah untuk mengatasi depresi mereka sendiri, yakni untuk menaikkan kadar bahan kimia otak yang diperlukan agar berfungsi secara normal.

Efek ini cukup kuat sehingga ketika perokok dengan riwayat menderita gangguan jiwa mencoba berhenti merokok, mereka beresiko jatuh kembali ke jurang depresi. Inilah kelekatan yang disertai balas dendam: bagi sebagian perokok, selain sulit berhenti akibat ketergantungan pada nikotin, upaya tersebut juga beresiko karena tanpa nikotin mereka dapat terperosok kembali ke kondisi gangguan jiwa yang bisa membuat tidak berdaya.

Bagi sebagian remaja calon perokok potensial, merokok dianggap sebagai sesuatu yang terlihat cool.  Malcom Gladwel pernah meyebar beberapa ratus daftar pertanyaan kepada beberapa ratus orang, meminta mereka bercerita seputar pengalaman pertama mereka berkenalan dengan rokok. Kesimpulan kuisioner, perokok memiliki sifat ekstrovet berupa suka menentang, matang secara seksual, jujur, implusif, tak acuh terhadap pandangan orang lain, gemar sensasi. Itu semua merupakan sifat-sifat hampir sempurna pada tipe orang dewasa yang menjadi dambaan kebanyakan remaja. Secara tidak langsung remaja tertarik ke pengungkapan sifat-sifat tersebut dalam wujud merokok. Sebenarnya disini yang perlu digarisbawahi bahwa merokok itu tidak cool, tidak pernah menjadikan orang hebat. Yang cool adalah para perokoknya sehingga mereka menjadi anutan remaja sehingga merokok menjadi sebuah epidemi secara ketok tular.

Temuan-temuan di atas kelihatannya sederhana, padahal ini mendasar sekali guna memahami mengapa perang terhadap kebiasaan merokok selama ini berujung dengan kekalahan telak. Gerakan anti-rokok telah menghabikan dana jutaan rupiah untuk memerangi kebiasaan merokok, namun tidak ada hasil yang signifikan. Perlu strategi “out of the box” sehingga gerakan anti-rokok akan lebih mengena dan tepat sasaran.

Doel,
Buitenzorg, 18-12-2011 (14.44)

Jumat, 16 Desember 2011

Kampanye Anti Rokok yang Kurang Efektif (1)


Baru-baru ini majalah Forbes telah merilis daftar orang-orang terkaya di Indonesia tahun 2011. Tidak ada perubahan untuk peringkat 3 besar bila dibandingkan dengan tahun lalu, kakak beradik Budi & Michael Hartono masih bertengger di peringkat taratas dalam daftar 10 orang terkaya di Tanah Air. Konglomerat Grup Djarum itu memiliki kekayaan US$14 miliar (sekitar Rp127,4 triliun). Tahun lalu, Forbes juga menempatkan Budi & Michael Hartono di peringkat pertama dengan kekayaan US$11 miliar. Berarti ada peningkatan kekayaan sebesar US$3 miliar (sekitar Rp27,3 triliun).

Susilo Wonowidjojo tetap bertengger di peringkat ke-2 dengan nilai kekayaan US$10,5 miliar (sekitar Rp95,5 triliun). Nilai kekayaan bos pabrik rokok Gudang Garam itu meningkat US$1,5 miliar jika dibandingkan dengan peringkat Forbes 2010. Sementara itu di tempat ketiga, Bos Sinar Mas Eka Tjipta Widjaja mendulang kekayaan US$8 miliar (Rp72,8 triliun) atau meningkat US$2 miliar jika dibandingkan dengan peringkat 2010.

Tidak terlalu mengherankan apabila orang terkaya di Indonesia ditempati oleh konglomerat perusahaan rokok. Data pada tahun 2002 menyebutkan konsumsi rokok Indonesia sebesar 182 miliar batang, jumlah yang sangat fantastik bukan? Jumlah itu senantiasa bertambah karena pasar rokok di Indonesia bergerak tumbuh ke tren positif ke depannya. Lalu akan timbul pertanyaan, apakah ada pihak yang kontra terhadap trend seperti ini? Bagaimanakah upaya untuk menekan perkembangan ini?

Merokok di kalangan remaja merupakan salah satu fenomena gaya hidup modern yang paling membuat orang pusing tujuh keliling. Tak seorang pun tahu cara memeranginya, atau bahkan memahami ujung pangkalnya. Asumsi utama yang dipegang oleh gerakan anti-merokok adalah bahwa pengusaha rokok telah membujuk kaum remaja dengan membohongi mereka, dengan menggambarkan bahwa merokok sangat nikmat dan jauh tidak berbahaya dibanding yang sesungguhnya.

Guna mengatasi permasalahan itu, berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan konsumsi rokok di Indonesia, mulai dari pembatasan jam tayang iklan rokok, pemberian label “Merokok Dapat Menyebabkan Kanker, Serangan Jantung, Impotensi, dan Gangguan Kehamilan dan Janin” pada setiap bungkus rokok yang beredar di pasaran, kampanye-kampanye kesehatan masyarakat yang ekstensif melalui berbagai media, ada juga fatwa haram MUI tentang rokok yang sempat menjadi kontroversi.

Namun, makin lama makin jelas bahwa pendekatan ini tidak begitu efektif. Sebagai contoh, mengapa kita berfikir bahwa kunci dalam memerangi kebiasaan merokok adalah menyadarkan orang tentang bahaya rokok? Sementara itu, kita tidak tahu seberapa efektif upaya orang dewasa memberitahu remaja agar mereka tidak merokok. Sebagaimana kata hampir tiap orangtua anak belasan tahun bahwa semakin sering mereka melarang dan berceramah tentang bahaya merokok, justru semakin besar hasrat mereka untuk mencoba. Memang betul, data terbaru dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan jika Indonesia menempati juara ketiga dunia dalam hal merokok. Posisi Indonesia masih teratas karena dipicu pertumbuhan perokok baru di kalangan generasi muda Indonesia yang tercepat di dunia.

Fakta di atas tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa upaya memerangi rokok sebaiknya dihentikan saja. Yang ingin saya tonjolkan adalah bahwa pola pikir kita selama ini tentang penyebab kebiasaan merokok sudah waktunya ditinjau kembali. Apabila ini sebuah endemi sosial, sudah saatnya upaya anti-merokok dilakukan dengan pendekatan baru agar berjalan lebih efektif.

Doel
Buitenzorg, 17-12-2012 (10.25)

Kamis, 15 Desember 2011

Indonesia: Destinasi Wisata Kelas Dunia yang [belum] Mendunia


Akhir-akhir ini beberapa tempat di Indonesia mendapatkan ekspose yang sangat luar biasa dari media. Baik itu media cetak maupun elektronik. Sebut saja ketika komodo masuk sebagai nominasi final new7wonderes, media-media tanah air tidak henti-hentinya mempromosikan komodo untuk membantu mendapatkan dukungan dari masyarakat Indonesia. Walaupun pada akhir-akhir terdapat kontroversi mengenai penyelenggara new7wonderes, namun peristiwa tersebut merupakan moment yang sangat luar biasa untuk meningkatkan citra komodo. Efeknya pun sangat terasa, yaitu wisatawan yang 
mengunjungi pulau komodo meningkat tajam.

Sebelumnya juga terdapat destinasi wisata baru yaitu raja ampat yang merupakan surganya bagi penghobi diving dan snorkeling. Bersama dengan kepulauan Wakatobi dan Gili Trawangan, ketiga tempat tersebut merupakan segitiga ajaib terbaik di dunia untuk diving dan snorkeling. Kekayaan biota di bawah laut dan keragamannya merupakan magnet tersendiri bagi para wisatawan dunia.

Tak kalah populernya keindahan alam Pulau Belitong yang mulai dikenal melalui novel fenomenal tetralogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Novel yang mengambil latar di Pulau Belitong memberikan gambaran yang luar biasa akan keindahan tempat-tempat di Belitong. Dengan alur cerita yang kuat serasa membuat pembaca ikut menelusuri petualangan “Ikal” menelusuri pelosok Belitong. Ditambah lagi dengan difilmkannya novel “Laskar Pelangi” dan “Sang Pemimpi” yang mengambil latar di Pulau Belitong juga  menuai sukses besar. Penikmat film tersebut dapat melihat keindahan alam Belitong dari adegan-adegan di film tersebut. Rasa-rasanyaalasan itulah yang membuat pengunjung ke Belitong atau juga dikenal sebagai pulau Laskar Pelangi berbondong-bondong datang kesana.

Komodo, Raja Ampat, Wakatobi, Gili Trawangan, dan Belitong adalah contoh tempat wisata kelas dunia yang dimiliki Indonesia. Tempat-tempat tersebut beruntung karena mendapatkan ekspose media yang luar biasa sehingga cepat dikenalnya. Namun, sesungguhnya Indonesia masih memiliki kekayaan tempat wisata kelas dunia yang masih agak asing dan hanya masalah kecepatan waktu saja yang menunggunya untuk menjadi tempat terkenal. Pembaca akan sedikit mengernyitkan dahi apabila disebut Pantai Plengkung dan Kepulauan Selayar. Mungkin pembaca akan sedikit lebih mengerti dengan Gunung Batur dan Gunung Rinjani. Ada apa saja disana dan kekayaan apa yang ditawarkan tempat-tempat itu?

Dimulai dari Pantai Plengkung yang terletak di Banyuwangi, wilayah yang berada di ujung timur Pulau Jawa. Pantai Plengkung yang dikenal juga "G-Land" memiliki ombak terbaik kedua di dunia untuk berselancar. Peselancar asing memberikan julukan untuk gulungan ombak di plengkung sebagai "The Seven Giant Waves Wonder". Ombak setinggi 4-6 meter sepanjang 2 km dalam formasi 7 gelombang bersusun cocok ditunggangi oleh peselancar kidal. Selain untuk peselancar profesional, ada juga Pantai Batu Lawang untuk belajar. Ombak disini disebut "twenty-twenty" yang artinya twenty minute untuk mendayung ketengah dan twenty minute menikmati titian ombak.

Apabila anda memilih berlibur ke Banyuwangi, masih ada paket kunjungan wisata yang juga tidak kalah menariknya dengan Pantai Plengkung. Kawah Ijen dan Pantai Sukomade adalah segitiga utama wisata Banyuwangi bersama dengan Plengkung. Kawah Ijen yang keindahannya sudah terkuak lewat film "King" yang bercerita tentang impian seorang anak untuk menjadi seorang pemain badminton. Pantai Sukomade merupakan tempat penangkaran penyu dengan pasir pantainya yang mengandung fosfor sehingga pada malam hari apabila pasirnya disorot lampu senter maka pasirnya akan mengeluarkan cahaya.

Menyeberang ke Taman Nasional Takabonerate Kepulauan Selayar Sulawesi Selatan. Tidak banyak yang tahu kalau disana terbentang atol alias pulau karang terluas ke-3 di dunia setelah Kwajalein di Kepulauan Marshall dan Suvadiva di Kepulauan Maladewa. Dengan luas mencapai 220.000 hektare, atol di laut Flores ini bak untaian lapis lazulli dan zamrud yang "tersemat" di hamparan lautan. Jika anda terlanjur mengunjungi pusat pembuatan perahu pinisi di Bulukumba, sempatkanlah menyeberang dan melanglang ke perairan ini.

Meloncat ke Pulau Bali yang sudah terkenal sebagai tujuan wisata. Namun sekarang kita akan menengok ke Gunung Batur. Di balik elok pemandangan dan keunikan budaya masyarakat Trunyan yang hidup di tepiannya, Danau Batur menyimpan riwayat geologi yang mengerikan. Danau Kaldera berbentuk bulan sabit ini terbentuk oleh serangkaian letusan dahsyat. Geolog Belanda, Van Bemmelen (1949), menyebut Danau Batur di Kintamani Bali, sebagai salah satu kaldera terbesar dan terindah di dunia. Dengan luasan mencapai 16,6 kilometer persegi, Danau Batur merupakan danau kaldera terluas kedua di Indonesia setelah Danau Toba di Sumatra Utara.

Bergeser sedikit ke timur tepatnya di Pulau Lombok dengan Gunung Rinjaninya. Tepatnya di Kaldera Gunung Rinjani terdapat Danau Segara Anak, danau air panas raksasa. Air permukaan danau yang berada di ketinggian 2003 meter di atas permukaan laut ternyata lebih hangat dengan suhu udara ruang. Inilah keajaiban Segara Anak,salah satu danau panas vulkanik terbesar di dunia.

Bagi anda yang ingin melakukan perjalanan wisata, tidak ada salahnya anda mencoba mengunjungi tempat-tempat di atas. Wisata Indonesia berkelas dunia, hanya tinggal menunggu waktu saja akan menjadi terkenal. Saya masih sempat mengunjungi Pantai Plengkung, namun di dalam hati masih ada asa dan cita untuk mengunjungi tempat-tempat itu.

Diambil dari berbagai sumber, di tengah-tengah penulis menyelesaikan skripsinya.
Doel, Buitenzorg (15 Desember 2011: 21.09)