Selasa, 14 Juni 2011

Adikku Cerdas karena Lemuru (Based on true story)

Menjelang tengah malam, moodku mulai menghilang untuk mengerjakan slide presentasi seminar penelitianku. Konsetrasiku mulai berganti dengan lamunan yang ga jelas. Saat itu terlintas dibenakku program "Gemar Makan Ikan" yang pernah dicanangkan oleh pemerintah secara nasional pada tahun 2007. Program yang bisa dibilang berjalan sukses, karena menurut data statistik konsumsi ikan nasional di akhir tahun 2010 mencapai 30,47 kg per kapita per tahun, meningkat dibandingkan pada 2009 yang 29,08 kg per kapita per tahun. Sedangkan standar FAO adalah 30 kg per kapita per tahun. Namun apabila dibandingkan dengan negara maju, Indonesia masih tertinggal jauh. Sebagai contoh, konsumsi ikan di Jepang 110 kg per kapita per tahun dan Korea Selatan 85 kg per kapita per tahun.

Kemudian lamunanku berlanjut tentang ikan lemuru, ikan yang akrab dengan kehidupanku di masa SD doeloe (ejaan menyesuaikan gan). Mungkin, saat kutanyakan kepada sepuluh orang temanku tentang ikan lemuru, maka sebagian besar atau bahkan semuanya akan mengernyitkan dahi. Ikan apaan tuh? Namun jika kutanyakan tentang ikan sarden maka teman-temanku pastinya akan menganggukkan, pertanda mengerti tentang ikan sarden. Ikan Lemuru (Sardinella Lemuru) adalah ikan yang banyak terdapat di Selat Bali, wilayah perairan antara Banyuwangi dan Selat Bali. Layaknya seorang artis yang sering menggunakan nama beken daripada nama aslinya, ikan lemuru pun dipasarkan dengan nama beken "ikan sarden" yang memiliki nilai jual. Ikan kaleng sarden yang beredar di Indonesia kebanyakan merupakan ikan lemuru. Jadi, banyak juga sebenarnya masyarakat Indonesia yang mengkonsumsi lemuru.

Sebelum ikan lemuru mulai dikalengkan menjadi sarden, kira-kira lebih satu dasawarsa dahulu lemuru telah akrab menemani nasi dalam hidangan keluargaku. Kenapa lemuru? berawal dari ide sederhana dari abahku bahwa "daripada membeli lauk berupa tempe tahu, aku lebih memilih membeli lemuru" . Pada waktu itu, harga 1 kg lemuru berkisar Rp 1000-1500. Masa itu pula, perekonomian keluargaku belum cukup untuk dikatakan mapan, maka mengkonsumsi lemuru adalah pilihan yang ekonomis. Ditambah lagi keluargaku termasuk kategori KB (keluarga besar), dengan 7 orang kepala (adikku yang terakhir belum lahir) maka cashlow keuangan pada sektor ini juga harus diatur dengan seksama. Pemasukan dari abah yang seorang petani dan gaji umi dari seorang guru (belum PNS) juga tidak cukup untuk menyediakan lauk yang terlalu macam-macam.

Setiap hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan selama beberapa tahun tanpa bosan-bosannya kami mengkonsumsi ikan lemuru. Pada waktu itu, Ulin dan Fikri (Rizal) berada pada usia balita. Usia yang bisa dikatakan sebagai usia perkembangan otak dan fungsi organ tubuh lainnya. Usia yang pas untuk menerima ransum lemuru dan menyerap segala gizi yang terkandung di dalamnya. Singkat cerita, kedua adikku tumbuh menjadi bocah paling cerdas dan berprestasi dalam keluargaku. Sebagai bukti, piala-piala yang ada di rumah yang seabreg jumlahnya semuanya adalah milik kedua bocah ini. Bocah ingusan yang kini memasuki masa pendewasaan. Ulin sekarang semester 2 di fakultas MIPA ITB (yang pada waktu itu iseng ikut simak UI dan diterima di Fakultas Kedokteran UI) dan Fikri yang sekarang sedang harap-harap cemas menunggu pengumuman SNMPTN pada tanggal 30 Juni (padahal sudah dapat beasiswa 4 tahun full jika mau masuk ke Fakultas MIPA ITB, namun dia tetep keukeuh ingin mencoba peruntungan di UI melalui SMNPTN).

Beberapa tahun belakangan, baru kupahami ternyata lemuru memiliki kandungan gizi yang tinggi, yaitu berupa asam lemak omega-3 yaitu EPA (Eicosapentaenoid Acid) dan DHA (Docohexaenoic Acid). Selain itu, kandungan omega 3 pada lemuru menjadi bahan disertasi Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP, mantan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Kandungan gizi tersebut sangat bermanfaat pada perkembangan sel-sel otak dan cocok untuk dikonsumsi pada masa pertumbuhan. Suatu asupan gizi yang didapat dengan harga murah dan jumlah yang melimpah pada zaman itu. Merupakan ide yang sangat cerdas dan briliant dari abahku dengan memilih lemuru pada 13 tahun yang lalu untuk mencerdaskan Keluarga Qohar for Better Life (slogan yang agak maksa kayaknya).

Buitenzorg, 13-06-2011 (01.09)


Minggu, 12 Juni 2011

Grassroot Innovation


Sebagai mahasiswa tentunya sudah tidak asing lagi dengan yang namanya PKM (Program Kreativitas Mahasiswa). PKM merupakan suatu program yang dibidani DIKTI sebagai upaya untuk mendongkrak kreativitas mahasiswa dan memberikan kesempatan untuk merealisasikan idenya melalui pembuatan proposal. Jika proposal itu lolos maka penyusun akan mendapatkan sejumlah dana untuk menjalankan ide dan kreativitasnya. Belakangan, dana yang diberikan juga semakin meningkat dengan jumlah yang signifikan karena adanya kebijakan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Bahkan, untuk tahun ini 1 proposal memiliki potensi untuk didanai sampai 10 juta. Sungguh suatu penghargaan yang luar biasa terhadap kreativitas dan ide seorang "mahasiswa". Beruntunglah bagi kita yang bisa merasakan menjadi mahasiswa dan pernah lolos PKMnya (share aj: aku ga pernah lolos PKM bro)...

Tapi, apakah pernah kita memperhatikan suatu kreativitas yang tumbuh di masyarakat. Kreativitas yang diciptakan oleh orang yang tidak pernah mengenyam kuliah atau bahkan tidak pernah sekolah? Suatu kreativitas yang tumbuh secara alami karena tuntutan alam, lingkungan, dan keadaan sebagai upaya manusia untuk beradaptasi. Saya menyebutnya disini "grassroot innovation", suatu inovasi yang sangat efektif, jujur, dan bermanfaat.

Di awal tahun 2010, saya pernah melakukan riset di daerah Situbondo Jawa Timur. Di kawasan tersebut memiliki cuaca ekstrim (panas) sehingga lahan gersang dan sulit untuk ditanami tumbuhan. Bukit-bukit cadas dan lahan terbengkalai menjadi pemandangan yang lumrah. Namun, ada suatu kawasan yang dilewati aliran sungai yang sangat deras debit airnya. Akan tetapi aliran air sungai berada di bawah lahan pertanian, sehingga air sungai tidak bisa dimanfaatkan untuk irigasi lahan.

Ada pemandangan menarik, kincir air berjejer di sepanjang sungai tersebut. Ya, kincir air digunakan sebagai alat untuk menaikkan air agar bisa dialirkan ke lahan pertanian. Prinsip kerjanya sederhana, kincir air diletakkan di atas permukaan air sehingga ujung kincir air terendam air sungai. Kincir akan berputar karena mendapatkan dorongan dari energi kinetik yang ditimbulkan oleh aliran air. Setiap rusuk ujung rusuk kincir air dipasang botol bekas sehingga pada waktu terendam botol akan terisi air dan disaat botol berada di posisi atas kincir, air akan terbuang keluar botol untuk ditampung. Tempat penampungan tersebut, memiliki saluran air berupa bambu atau selang untuk mengalirkan air ke lahan.

Inovasi yang dibuat oleh orang yang tidak pernah mengenyam ilmu fisika di bangku sekolah namun bisa menerjemahkan dengan luar biasa dinamika dalam ilmu fisika. Suatu mahakarya sebagai upaya manusia untuk bertahan hidup pada kondisi lingkungan ekstrim. Suatu inovasi yang sangat aplikatif dan berguna.

Sekarang yang menjadi pertanyaan apakah kita (mahasiswa) mampu berbuat lebih atau minimal sama?? Mahasiswa yang dianggap sebagai "agent of change" tidak tahu apakah itu hanyalah sebuah jargon atau sudah mampu diimplementasikan dengan baik. Hanya diri kita sendiri yang mampu menjawabnya....

Buitenzorg, 12-06-2011 (22.03)

Sabtu, 04 Juni 2011

class of 2k4 (kenangan tempo doeloe)

mungkin benar, kemajuan teknologi semakin memanjakan manusia. Semua kegiatan manusia menjadi lebih mudah, pengen pergi jauh tinggal naik pesawat ribuan kilometer, gunung, lautan ditempuh dalam waktu sekejap. Pengen ngobrol dengan teman yang ada di luar kota atau bahkan di luar negeri tinggal pencet-pencet nomer yang ada di HP, kemudian HP tinggal didekatkan ke telinga, suara teman yang lagi ada di suatu daerah antah berantah bisa kita dengarkan. Tak ketinggalan pula kemajuan Internet dengan segala fitur-fitur canggihnya, semisal facebook. Ya, facebook merupakan situs jejaring pertemanan yang dapat menjalin hubungan pertemanan di segala penjuru dunia. bahkan teman lama, pacar, ataupun jodoh biasanya juga dapat ditemukan bekat bantuan facebook. Alamak keren abisss dah pokoknya...

Beberapa fitur Facebook pun mampu membuat kita serasa kembali ke masa masa doeloe (ejaan lama bro). tengoklah seperti fasilitas grup yang menjadi sarana komunikasi dan informasi suatu komunitas. Tak ayal bila jika kita melihat kolom yang ada di samping kiri (di bawah profil picture) ternyata sadar atau tidak sadar kita banyak ikut grup-grup (yg menurutku kadang2 ada yg ga penting juga... hahaha)

7 tahun lalu, merupakan waktu yang lama dan terasa singkat telah dilewati semenjak kutanggalkan seragam biru putih. namun, itu hanyalah suatu simbol. ikatan antara guru dan murid, ikatan pertemanan, kenangan singkat 3 tahun itu telah membekas di suatu petak otakku dan merupakan suatu ikatan yang tak kan lekang oleh waktu (meminjam liriknya kerispatih).

maka, untuk menjalin kembali silaturrakhim kumulailah dengan membuat suatu grup ini yang semoga menjadi pelepas dahaga kenangan smp yang mungkin telah terpisahkan oleh jarak dan waktu. walaupun jika kutengok anggota yang ada di member ini banyak yang asing namanya, entah itu nama asli atau nama yang disamarkan. Namun yang pasti kita adalah satu almamater yaitu SMP Negeri 1 Genteng.

Buitenzorg, 3-6-2011 (11.23)

Hmmm, Gurihnya Lele Blambangan

Ikan lele adalah jenis ikan konsumsi yang sudah akrab dikenal hampir di seluruh Indonesia. Di berbagai pelosok daerah dengan mudah dapat ditemukan warung-warung pecel lele sebagai sajian utamanya. Apalagi beberapa produk lele lainnya seperti lele asap, tepung lele, dan krupuk lele yang merupakan produk turunan yang mulai dikembangkan. Sehingga ke depannya konsumsi ikan lele akan semakin meningkat. Pak Najikh CEO PT Kelola Mina Laut (KML) pada Stadium General TIN berujar, bahwa bisnis dalam bidang makanan adalah bisnis yang sangat prospektif selama manusia masih memerlukan makanan sampai hari kiamat. Pernyataan ini mendukung opini bahwa budidaya lele merupakan bisnis yang sangat potensial.

Budidaya lelepun juga makin terasa mudah dengan banyaknya inovasi yang telah dilakukan. Jika kita mengetikkan "lele organik" pada om google maka akan banyak judul artikel yang akan muncul. Beberapa artikel tersebut juga akan mengaitkan dengan Banyuwangi. Lantas apa hubungannya? Ya, di Banyuwangi, terdapat beberapa orang yang telah berhasil mengembangkan budidaya lele organik sehingga menjadi lebih efisien dan ekonomis. Inovasi yang berhasil dikembangkan adalah tingkat kematian yang rendah (maksimal 5%), hemat pakan hingga 40%, masa pembudidayaan lebih cepat, dan daging lebih gurih.

Setelah itu, berlahan tapi pasti budidaya lele menjadi tren usaha tersendiri di Kabupaten Banyuwangi. Data statistik pada tahun 2005 menunjukkan bahwa produksi ikan tawar Banyuwangi sebanyak 200.720 ton atau setara dengan Rp. 1,53 miliar. Pada tahun 2006 produksi ikan tawar mengalami peningkatan sebesar 26,13 persen. Ikan tawar yang dihasilkan Banyuwangi pada tahun 2006 sebesar 257.873 ton atau sama dengan Rp. 1,85 miliar, dimana 72,8 persen-nya berasal dari jenis komoditi ikan lele. Fenomena ini menunjukkan bahwa pembudidayaan lele merupakan usaha yang prospektif.

Membahas "Bisnis Prospektif" tentunya tidak hanya dilihat dari peningkatan jumlah produksi saja, tetapi perlu diamati dari potensi pasar yang ada dan kemampuan pasar untuk menyerap hasil produksi. Letak geografis Banyuwangi juga sangat menguntungkan untuk memasarkan lele. Lokasi dekat dengan Bali dan berada di Propinsi Jawa Timur yang merupakan Propinsi terbesar kedua di Indonesia setelah DKI Jakarta merupakan pasar yang sangat potensial. Jika tren ini mampu dijaga dan dikembangkan maka beberapa tahun ke depan bukan impian lagi jika Banyuwangi memperoleh predikat kembali sebagai Lumbung Pangan Nasional.

Bisnis ini juga patut dicoba buat teman-teman dari Banyuwangi yang telah menyelesaikan studinya. Banyak anak yang mengeluhkan sempitnya lapangan pekerjaan yang ada di Banyuwangi, sehingga mereka lebih memilih berkarir di luar Banyuwangi. Budidaya Lele merupakan bisnis yang patut untuk dikembangkan. Lapangan pekerjaan itu bukan hanya "dicari" tetapi bisa juga "diciptakan". So, jangan malu dan ragu-ragu untuk kembali ke bumi blambangan.

Buitenzorg, 4-6-2011 (15.03)


orang miskin = petani

Apakah biaya pendidikan di Indonesia semakin mahal? atau

Penduduk Indonesia yang masih miskin? setelah itu, saya bergumam lagi:

Siapakah orang miskin di Indonesia?

Jawabannya tidak lain tidak bukan adalah petani

Kok bisa? Saya bisa mengutip pernyataan Wakil Menteri Pertanian, Bayu Krisna Mukti yang pernah mengatakan pada tahun 2002, dari 38,4 juta orang miskin di Indonesia, 65,4% diantaranya berada di pedesaan dan 53,9% adalah petani. Pada tahun 2003, dari 24,3 juta rumah tangga pertanian yang berbasis lahan (land base farmers), 20,1 juta atau sekitar 82,7% di antaranya dapat dikategorikan miskin. Berari masih belum salah kalau saya katakan Petani = Miskin.

Sebenarnya kita harus berterima kasih kepada petani yang telah mensubsidi harga pangan kita, bukan pemerintah yang mensubsidi harga pangan. Ini bisa terjadi karena disaat harga bahan makanan mulai naik, media massa mulai gencar membuat headline news tentang kenaikan bahan makanan. Sehingga pemerintah melakukan inspeksi pasar agar harga kembali normal. Lantas? apa tidak boleh petani menikmati keuntungan yang lebih atas jerih payahnya menyediakan bahan makanan bagi Indonesia?

Jika kita melihat harga 1 kg beras di pasar Rp. 5000- 6000, taukah kalau harga beras di tingkat petani hanya 2000-3000 perak. Lalu kemana selisih harga petani dg pasar yang bisa mencapai 100% itu? tidak heran jika Mantan Wakil Presiden Indonesia Bapak Yusuf Kalla, pernah mengeluhkan sistem rantai pasok perdagangan indonesia yang terlalu panjang sehingga keuntungan perdagangan lebih banyak dinikmati oleh para makelar. pada akhirnya produsen (petani) yang akan dirugikan.

Lantas, siapakah yang kesulitan terhadap biaya sekolah? kalo saya jawab anak petani pastilah belum salah kan??